Selasa, 29 Juni 2010

12 Nasehat Kepada Ukhti Muslimah

1. Jauhilah olehmu banyak bicara (yang tidak bermanfaat) dan jagalah lisanmu.

Sesungguhnya Allah berfirman:

"Tiada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia." (An-Nisa':114)

Ketahuilah bahwa di sana ada orang yang menghisab pembicaraanmu dan menghitungnya atasmu.

Ringkaslah pembicaranmu, dan bicaralah sebatas maksud dan tujuanmu!


2. Bacalah Al-Qur'an Al-Karim, dan berusahalah agar ia menjadi wirid harianmu, juga berusahalah untuk menghafalkannya Sesuai dengan kemampuanmu, agar engkau memperoleh pahala yang besar kelak di hari kiamat.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amir Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam beliau bersabda:

"Kelak (di hari kiamat) akan dikatakan kepada pembaca al-qur'an, bacalah, pelan-pelanlah dan tartilah (dalam membacanya) sebagaimana kamu mentartilkannya ketika di dunia, sesungguhnya tempat dan kedudukanmu ada pada akhir ayat yang kamu baca." (Hadits Shahih, Tirmidzi, 1329)

3. Tidak baik jika kamu membicarakan semua pembicaraan yang telah kamu dengar, sebab yang demikian itu memberi peluang kepadamu untuk jatuh dalam lubang kebohongan.

Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu meiwayatkan, sesungguhnya Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:"Cukuplah seorang dianggap sebagai pembohong, jika dia membicarakan semua apa yang telah didengarnya." (Muslim dalam Mukaddimahnya, hadits No:5)

4. Jauhilah sifat sombong dan bangga diri dengan sesuatu yang bukan milikmu karena untuk pamer dan menyombongkan diri di depan manusia.

Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'Anha bahwa ada seorang perempuan yang berkata: wahai Rasulullah, aku katakan bahwa suamiku telah memberiku sesuatu yang tidak pernah diberikan kepadaku. Kemudian Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Orang yang merasa kenyang dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya sebagaimana orang yang memakai pakaian kepalsuan." (Muttafaq Alaih)

5. Sesungguhnya dzikir kepada Allah memiliki pengaruh yang agung bagi kehidupan ruh, jiwa, badan, dan sosial seorang muslim.

Oleh karena itu wahai ukhti muslimah berusahalah berdzikir kepada Allah dalam setiap saat dan keadaan, sesungguhnya Allah telah memuji hamba-hamba-Nya yang ikhlas kepada-Nya, firman-Nya:

"Yaitu orang-orang yang mengingat (dzikir) Allah sambil berdiri, atau duduk atau dalam keadaan berbaring." (Ali Imran:191)

6. Jika engkau hendak berbicara janganlah engkau agung-agungkan, jangan engkau fasih-fasihkan, dan jangan pula engkau buat-buat, sebab yang demikian itu adalah sifat yang dibenci oleh Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam

Beliau bersabda:

"Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh tempat duduknya kelak di hari kiamat ialah mereka yang suka bicara (yang tidak berfaedah), dan yang suka mengada-adakan pembicaraannya, dan para Mutafaihiqun (orang yang mengagung-agungkan pembicaraan bohong)". (Hadits Shahih diriwayatkan oleh Tirmidzi, 1642)

7. Hendaklah engkau berteladan kepada Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam , yang senantiasa lebih banyak diam dan berfikir, tidak memperbanyak tertawa apalagi berlebih-lebihan di dalamnya.

Jika kamu berbicara, maka batasilah pembicaraanmu hanya yang baik-baik saja, jika kamu tidak bisa maka diam itu lebih baik bagimu. Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia mengatakan yang baik atau lebih baik diam." (Bukhari)

8. Janganlah sekali-kali memutus pembicaraan orang lain atau membantahnya atau menampakkan pelecehan terhadapnya,tetapi jadilah pendengar yang baik yang mendengarkan pembicaraan orang lain dengan sopan (sebagai tanda budi baikmu), dan jika engkau terpaksa membantah ucapan mereka bantahlah dengan cara yang lebih baik (untuk menampakkan kepribadianmu).

9. Waspadalah sepenuhnya dengan sikap mengejek dan merendahkan dialek pembicaraan orang lain, seperti terhadap orang yang kurang lancar bicaranya atau terhadap mereka yang berbicara dengan tersendat-sendat.

Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari wanita (mengolok-olok)." (Al-Hujurat:11)

10. Jika engkau mendengar bacaan Al-Qur'an al-Karim, maka hentikan pembicaraanmu apapun masalah yang sedang engkau bicarakan, karena menghormati terhadap kalamullah,

dan untuk mengindah perintah-Nya yang mana Dia telah berfirman:
"Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan baik (tenang) agar kamu mendapat rahmat." (Al-'Araf:204)

11. Senantiasa menimbang kata-kata (ucapanmu) sebelum diucapkan oleh lisanmu, dan berusahlah agar kalimat yang terucap oleh lisanmu adalah kalimat yang baik dan menyejukkan tetap dalam kerangka jalan kebaikan, jauh dari keburukan dan sesutau yang menghantarkan kepada murka Allah. Sesungguhnya kata-kata itu memiliki tanggung jawab yang besar, sudah berapa banyak kata-kata yang memasukkan pengucapnya ke dalam surga, sebaliknya sudah berapa banyak kata-kata yang menenggelamkan pengucapnya ke lembah Jahannam.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu dari Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam beliau bersabda: "Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan sebuah pembicaraan yang mengandung ridla Allah, seakan-akan manusia tidak peduli dengannya maka Allah akan mengangkatnya dengannya beberapa derajat, dan seorang hamba berbicara dengan
suatu yang dimurkai Allah, seakan-akan manusia tidak peduli dengannya maka Allah menceburkannya karenanya ke dalam lembah Jahannam." (HR. Bukhari,6478)

12. Pergunakanlah lisanmu untuk beramar ma'ruf dan nahyu munkar serta untuk berdakwah kepada kebaikan, karena lisan adalah nikmat Allah yang agung yang telah dikaruniakan kepadamu.

Allah berfirman:

"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia." (An-Nisa':114)

"Nasehat kepada para Muslimah" (Bagian Satu), 'Abdul 'Aziz al-Muqbil.(voa-islam)



di copas dari :
http://dakwahkampus.com/konsultasi/tanya-jawab-mahasiswi/475.html

pasti

Pasti Gemilang Jejak ku

Saat lulus SMA, saya mendaftar ke dua perguruan tinggi negeri. Saya diterima di statistika IPB melalui jalur USMI IPB dan geografi UI melalui jalur SIMAK UI, tapi karena berbagai pertimbangan, saya memutuskan untuk memilih statistika IPB. Departemen statistika adalah mayor pilihan pertama saya pada saat mendaftar USMI IPB. Saya menempatkan mayor statistika pada pilihan pertama, karena saya merasa tertarik dengan bidang ilmu yang diajarkan. Ketertarikan saya pada bidang statitika karena beberapa alasan, diantaranya : 1) pada mayor statistika lebih banyak menganalisis data dan merupakan pengkhususan dari bidang matematika, yang pada saat masih SD, SMP, dan SMA saya menyukai mata pelajaran matematika, 2) dahulunya departemen statistika IPB merupakan departemen statistika terbaik se-Asia Tenggara, walau kini sudah tidak menyandang predikat tersebut, tapi saya ingin menjadi bagian dari mahasiswa statistika IPB yang nantinya akan membangkitkan kembali reputasi statistika IPB.

Hal yang saya kemukakan di atas adalah pikiran saya ketika lulus SMA.

Realita yang terjadi di Indonesia saat ini, banyak orang yang mendewakan jabatan dan kekuasaan. Akan tetapi ketika jabatan berhasil diraih, tidak banyak dari mereka yang menjalankan tugas dan kewajibannya dengan tulus dan atas dasar nasionalisme, tidak sedikit juga dari mereka yang menyalahgunakan wewenangnya, bahkan sampai pada tindak korupsi. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya tindak korupsi, diantara banyak penyebab saya tertarik pada salah satunya, yaitu pengelolaan keuangan yang kurang transparan dan kurang ketatnya pengawasan lembaga pemerintahan dalam mengawasi jalannya aliran uang pemerintahan, yang dapat memberi peluang para pejabat baik tingkat rendah hingga pejabat tinggi untuk melakukan tindak korupsi.

Motivasi saya kini berubah. Saya, sebagai generasi muda, sangat berkeinginan turut berpartisipasi untuk berkontribusi dalam membersihkan Negara ini dari para koruptor, dengan ikut mewujudkan tata kelola keuangan Negara yang akuntabel dan transparan, serta ikut mengawasi jalannya aliran uang, oleh karenanya saya membutuhkan ilmu pengetahuan, beberapa diantaranya menguasai teknik pengumpulan, pengolahan, dan analisis data. Keinginan tersebut dapat diwujudkan dengan bekerja di lembaga – lembaga pemerintahan, tapi saya harus menguasai kemampuan dasar statistika, sehingga saya memilih mayor statistika sebagai jurusan saya, yang berada pada fakultas MIPA.

Selain kebutuhan akan dasar statistika, saya juga membutuhkan beberapa ilmu pendukung, diantaranya ilmu manajemen, sehingga saya memutuskan untuk mengambil minor manajemen.

Tingkat pertama masa perkuliahan sudah saya lewati, tersisa tiga tingkat yang harus saya jalani. Terselesaikannya empat tingkat perkuliahan, berakhir juga masa perkuliahan saya dan saya akan diwisuda menjadi sarjana statistika dengan minor manajemen. Rencana lima tahun setelah saya lulus di antaranya: 1) tahun pertama setelah lulus, saya akan mencari beasiswa S2 di dalam atau keluar negeri tapi prioritas saya ke Jerman, apabila ada kendala, saya akan mencari pekerjaan lebih dulu; 2) tahun kedua saatnya saya menikmati pekerjaan, di tahun ini saya berharap dapat mengikuti tes CPNS; 3) tahun ketiga, saya harus memiliki usaha sampingan di luar pekerjaan tetap saya, yang akan dikelola keluarga; 4) tahun keempat, tahun penuh harapan, saya berharap penuh agar di tahun ini tabungan saya cukup untuk memberangkatkan ayah ke Tanah Suci, Mekah, dan saya juga berharap ada kemajuan pada bidang pekerjaan saya; 5) tahun kelima, saya harap ini tahun yang indah untuk dapat melangsungkan . Untuk tambahan, saya ingin bekerja di BPK atau Depkeu, tapi saya sulit mengkonsepkan ditahun berapa saya dapat mencapainya.

Dalam pengkonsepan rencana lima tahun tersebut, saya mengingat HR. Bukhari yang Rasulullah SAW bersabda, ” Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain ”. Hidup yang kita jalani hanya sementara, kita harus memanfaatkannya untuk mendapat ridho-Nya.

Rencana di atas dapat tercapai, apabila saya dapat meng- up grade diri secara kontinu. Waktu sudah terlewatkan kemarin saya tidak aktif mengikuti kegiatan kampus, tapi disisa waktu saya menjadi mahasiswa, saya niatkan untuk aktif mengikuti organisasi – organisasi dan kegiatan – kegiatan kampus.

Semua hal yang tertulis diatas, merupakan suatu rencana yang saya konsepkan. Semua hasil saya serahkan pada Allah yang maha menentukan, tanpa mengurangi semangat saya untuk kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas.


Eka Risna Rahmawati

Kamis, 13 Mei 2010

Seni dalam Perspektif Islam

Seni dalam Perspektif Islam






Nama : Eka Risna Rahmawati
NIM : G14090067
Kelas : B. 25
Asisten : Nur Adilla Adha
Tugas : Pendidikan Agama ISlam

TPB Institut Pertanian Bogor
Tahun Ajaran 2009 / 2010
Seni dalam Perspektif Islam

Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum.

Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13).

Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal.

Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik.

Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.


Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):

Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:


a. Berdasarkan firman Allah:
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).

b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].

c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].

d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda
“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].

e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”

Dalil-Dalil yang Menghalalkan Nyanyian:
a. Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).

b. Hadits dari Nafi’ ra,
katanya Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].

c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].

d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:

“Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].

e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:
“Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].

Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).

Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:

Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima “Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).

Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).

Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).

Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:

Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).
Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.

Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.

Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:

“Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah].

Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)

Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.

Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.

Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman:

“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).

“…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm [6]: 68).


Hukum Memainkan Alat Musik

Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:

“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).

Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’ (Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16). Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:

“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).

Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.

Hukum Mendengarkan Musik Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)

Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya. Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram. Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74). Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya

Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.

Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan: Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76). Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:

Al-wasilah ila al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).


Pedoman Umum Nyanyian dan Musik Islami

Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):
1. Musisi/Penyanyi.
2. Instrumen (alat musik).
3. Sya’ir dalam bait lagu.
4. Waktu dan Tempat.




Berikut sekilas uraiannya:
Musisi/Penyanyi

a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.
c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram. Instrumen/Alat Musik

Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:

a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim. Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Sya’ir

Berisi:

a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.

Tidak berisi:
a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.
c) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).
e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.


4). Waktu Dan Tempat
a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).

Materi Seni dalam Perspektif / Pandangan Islam , dimana Seni dapat dihalalkan dan diharamkan sesuai situasi dan Kondisi nya . Seni juga dapat menjadi media penyampaian dakwah , seperti Wayang yang digunakan oleh para Wali Songo di Indonesia untuk berdakwah










Seni dalam Islam

Anda pernah berwisata ke Istana Topkapi? Tak apa, jika belum. Andai sudah, coba perhatikan ornamen yang sangat indah pada dinding - dinding bangunan bersejarah di Turki itu. Keindahan yang sama bisa dilihat di Darb-i Imam shrine di Isfahan, Iran, juga di Seljuk Mama Hatum Mausoleum di Tercan, Turki. Bangunan-bangunan abad pertengahan Islam tersebut membuktikan perkembangan Islam tak terlepas dari jiwa dan nafas seni.
Bahkan, pola yang terlukis di bangunan-bangunan tadi, diakui memiliki tingkat dan nilai seni yang tinggi, melebihi pengetahuan seni dunia barat pada masa itu. Peter J Lu, peneliti dari Harvard University, Amerika Serikat, membuktikannya. Pada kesimpulan penelitian yang dilakukannya, ia mengatakan, ornamen-ornamen itu nyaris membentuk pola quasi-crystalline yang sempurna. Padahal dunia Barat baru mengenal pola yang indah itu setelah 500 tahun kemudian [www.sciencemag.org]. Dunia Barat mengenal pola quasicrystalline setelah Roger Penrose, seorang ahli matematika dan kosmologi berkebangsaan Inggris memperkenalkannya pada tahun 1970. Dan pola semacam itu kemudian disebut dengan quasicrystalline Penrose.
Pola quasi-crystalline adalah pola bergaris yang saling bertautan satu sama lain yang membentuk pola yang tidak berulang, bahkan jika diteruskan ke semua arah sekalipun. Pola quasi-crystalline memiliki bentuk yang simetris khusus. Pola semacam itu sudah banyak digunakan arsitek-arsitek muslim abad pertengahan Islam. Lu menyebut sebagai karya yang menakjubkan. “Mereka membuat ubin yang memperlihatkan penguasan matematika yang begitu canggih sehingga kita tak dapat membayangkan sampai 20 atau 30 tahun belakangan ini,” katanya.
Dunia juga mengakui, salah satu corak keramik yang paling indah adalah karya tangan-tangan terampil pembuat keramik muslim. Memang pada awalnya mereka meniru corak keramik dari Cina dan Yunani. Namun, dalam perkembangan waktu, mereka menghasilkan corak yang berbeda. Keramik-keramik yang mereka ciptakan membentuk karakter keindahan tersendiri, berbeda dengan karakter keramik dari Cina atau Yunani. Teknik-teknik baru pembuatan keramik pun lahir.
Tetapi, bukti-bukti di atas tak mengubah pandangan sebagian orang yang menganggap bahwa Islam menghambat seni dan memusuhinya. Seolah, setiap perkembangan seni berlawanan dengan nilai-nilai Islam. Seperti saat dimuatnya karikatur Nabi Muhammad Saw di beberapa media Barat. Saat masyarakat muslim bereaksi keras menentang pemuatan karikatur itu, dikatakan bahwa Islam tidak menghargai kebebasan seseorang untuk menunjukkan ekspresi seninya.
Pandangan Islam Tentang Seni
Sebenarnya, bagaimana pandangan Islam tentang seni? Seni merupakan ekspresi keindahan. Dan keindahan menjadi salah satu sifat yang dilekatkan Allah pada penciptaan jagat raya ini. Allah melalui kalamnya di Al-Qur’an mengajak manusia memandang seluruh jagat raya dengan segala keserasian dan keindahannya. Allah berfirman: “Maka apakah mereka tidak melihat ke langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya, dan tiada baginya sedikit pun retak-retak?” [QS 50: 6].
Allah juga mengajak manusia untuk melihat dari perspektif keindahan, bagaimana buah-buahan yang menggantung di pohon dan bagaimana pula buah-buahan itu dimatangkan. Jika manusia memerhatikan dan menikmati dengan pandangan yang indah, saat arak-arakan binatang ternak saat masuk ke kandang, juga saat dilepaskan ke tempat penggembalaan, sesungguhnya pada peristiwa itu ada unsur keindahannya.
Ajakan-ajakan kepada manusia tersebut menunjukkan, pada dasarnya manusia dianugerahi Allah potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan. Seni merupakan fitrah dan naluri alami manusia. Kemampuan ini yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Karena itu, mustahil bila Allah melarang manusia untuk melakukan kegiatan berkesenian.
Nabi Muhammad Saw sangat menghargai keindahan. Suatu ketika dikisahkan, Nabi menerima hadiah berupa pakaian yang bersulam benang emas, lalu beliau mengenakannya dan kemudian naik ke mimbar. Namun tanpa menyampaikan sesuatu apapun, Beliau turun kembali. Para sahabat sedemikian kagum dengan baju itu, sampai mereka memegang dan merabanya. Nabi Saw bersabda: “Apakah kalian mengagumi baju ini?” Mereka berkata, “Kami sama sekali belum pernah melihat pakaian yang lebih indah dari ini.” Nabi bersabda: “Sesungguhnya saputangan Sa’ad bin Mu’adz di surga jauh lebih indah daripada yang kalian lihat.” [M Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an].
Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin juga menuliskan bahwa: “Siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati.”


Kehati-hatian dalam Seni
Kalau memang demikian pandangan Islam tentang seni, mengapa pada masa awal perkembangan Islam [zaman Nabi Saw dan para sahabatnya], belum tampak jelas ekspresi kaum muslim terhadap kesenian. Bahkan, terasa adanya banyak pembatasan-pembatasan yang menghambat perkembangan seni? Menurut Sayyid Quthb, pada masa itu, kaum muslim masih dalam tahap penghayatan nilai-nilai Islam dan memfokuskan pada pembersihan gagasan-gagasan jahiliyah yang sudah meresap dalam jiwa masyarakat sejak lama. Sedangkan sebuah karya seni lahir dari interaksi seseorang atau masyarakat dengan suatu gagasan, menghayati dengan sempurna sampai menyatu dengan jiwanya. Karena itu, belum banyak karya seni yang tercipta pada masa awal perkembangan Islam itu.
Pembatasan-pembatasan terhadap kesenian karena adanya sikap kehati-hatian dari kaum Muslim. Kehatihatian itu dimaksudkan agar mereka tidak terjerumus kepada hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menjadi titik perhatian pada waktu itu. M Quraish Shihab menjelaskan bahwa Umar Ibnul Khaththab, khalifah kedua, pernah berkata, “Umat Islam meninggalkan dua pertiga dari transaksi ekonomi karena khawatir terjerumus ke dalam haram [riba].” Ucapan ini benar adanya, dan agaknya ia juga dapat menjadi benar jika kalimat transaksi ekonomi diganti dengan kesenian [Wawasan Al-Qur’an].
Atas dasar kehati-hatian ini pulalah hendaknya dipahami hadits-hadits yang melarang menggambar atau melukis dan memahat makhluk-makhluk hidup. Apabila seni membawa manfaat bagi manusia, memperindah hidup dan hiasannya yang dibenarkan agama, mengabadikan nilai-nilai luhur dan menyucikannya, serta mengembangkan serta memperhalus rasa keindahan dalam jiwa manusia, maka sunnah Nabi mendukung, tidak menentangnya.
Karena ketika itu ia telah menjadi salah satu nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. Demikian Muhammad Imarah dalam bukunya Ma’âlim Al-Manhaj Al-Islâmi yang penerbitannya disponsori Dewan Tertinggi Dakwah Islam, Al-Azhar bekerjasama dengan Al-Ma’had Al-’Âlami lil Fikr Al-Islâmi [International Institute for Islamic Thought].
Kesenian Islam baru berkembang dan mencapai puncak kejayaan pada saat Islam sampai di daerah-daerah Afrika Utara, Asia Kecil, dan Eropa. Daerah-daerah tersebut didefinisikan sebagai Persia, Mesir, Moor, Spanyol, Bizantium, India, Mongolia, dan Seljuk. Di daerah-daerah tersebut, Islam membaur dengan kebudayaan setempat. Terjadilah pertukaran nilai-nilai Islam dengan budaya dan seni yang menghasilkan ragam seni yang baru, berbeda dengan karakter seni tempat asalnya.


Dasar Seni Islam
Seni yang didasarkan pada nilai-nilai Islam [agama/ketuhanan] inilah yang menjadi pembeda antara seni Islam dengan ragam seni yang lain. Titus Burckhardt, seorang peneliti berkebangsaan Swiss-Jerman mengatakan, “Seni Islam sepanjang ruang dan waktu, memiliki identitas dan esensi yang satu. Kesatuan ini bisa jelas disaksikan. Seni Islam memperoleh hakekat dan estetikanya dari suatu filosofi yang transendental.” Ia menambahkan, para seniman muslim meyakini bahwa hakekat keindahan bukan bersumber dari sang pencipta seni. Namun, keindahan karya seni diukur dari sejauh mana karya seni tersebut bisa harmonis dan serasi dengan alam semesta. Dengan begitu, para seniman muslim memunyai makna dan tujuan seni yang luhur dan sakral.
Apakah seni Islam harus berbicara tentang Islam? Sayyid Quthb dengan tegas menjawab tidak. Kesenian Islam tak harus berbicara tentang Islam. Ia tak harus berupa nasehat langsung atau anjuran berbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak tentang aqidah. Tetapi seni yang Islami adalah seni yang menggambarkan wujud dengan ‘bahasa’ yang indah serta sesuai dengan fitrah manusia. Kesenian Islam membawa manusia kepada pertemuan yang sempurna antara keindahan dan kebenaran.

Erwin Gutawa – pemusik
“Seni merupakan bentuk ekspresi manusia untuk mendapatkan pengalaman yang bersifat personal. Pengalaman tersebut dapat berupa pengalaman religius. Pada batasan personal ini, seni tidak mengenal batas. Tetapi, ketika ekspresi seni masuk ke arena publik, maka ekspresi seni harus dibatasi dengan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Seorang seniman yang baik bisa menjadikan norma dan nilai tersebut sebagai sumber inspirasinya. Seni berpotensi untuk menyampaikan sebuah pesan. Seperti seni Islami yang menyampaikan pesan kebaikan dalam Islam. Seni Islami tidak sama dengan seni Arab. Seni Islami bisa bersumber dari budaya daerah di Indonesia. Justru dengan pendekatan seni dan budaya lokal, pesan Islam akan mudah diserap. Contohnya masyarakat Jawa zaman dahulu.
Masyarakat Jawa dahulu mudah menerima nilai-nilai Islam yang dibawa Walisongo, karena menggunakan pendekatan seni dan budaya. Cara bersyiar seperti Walisongo ini yang menjadi inspirasi saya untuk mengadakan konser ‘The Spirit of Ramadhan’ di Plenary Hall – JCC, pada 9 September mendatang.
Banyak sekali ragam seni budaya yang bisa dikembangkan di Indonesia. Seniman Indonesia juga tidak kalah dengan negara lain, bahkan beberapa orang lebih baik. Tetapi diperlukan dukungan dari semua pihak, baik dari pemerintah dengan penyiapan infrastrukturnya, maupun dari kemauan seniman dan pelaku bisnis seni untuk menjadikan seni budaya Indonesia bisa berbicara di kancah Internasional.” « [imam]
Yana WS – pematung
“Tadinya memang ada semacam dilema, saat awal saya membuat patung. Apalagi, di masyarakat yang relatif religius, membuat patung cenderung diidentikkan dengan membuat berhala. Tapi dari beberapa literatur, saya menemukan bahwa kegiatan berkesenian membuat patung boleh saja, selama bukan bertujuan untuk disembah.
Ada korelasi antara seni dan religi. Apalagi jika seni itu diarahkan untuk kebaikan. Atau mendorong orang untuk berbuat kebajikan. Untuk itulah pada tahun 1995, saya mulai tergerak untuk mengarahkan karya saya ke seni yang Islami. Diawali dengan membuat karya yang terinspirasi dari situs Ratu Nahrisyah dari Aceh untuk keperluan pameran seni. Pembuatan karya ini akhirnya menuntun saya melahirkan karya baru, yang melukiskan proses masuknya Islam ke bumi Nusantara. Karya setinggi orang dewasa dan dibuat menjadi tiga tahap gradual ini berisi kaligrafi Surat Yasin, ayat Kursi, dan beberapa ayat Al-Qur’an. Karya ini sudah beberapa kali ikut dalam sejumlah pameran.
Selain itu ada juga karya saya yang bertema Islam. Karena menurut saya yang paling khas dari Islam adalah shalat, maka karya ini berbentuk patung orang yang sedang shalat. Mulanya sendirian, kemudian saya buat lagi yang berjamaah. Minimal dengan melihat dan mengapresiasi patung itu, kita akan selalu teringat tentang kewajiban shalat bagi umat Muslim. Karya ini akan diikutkan dalam Islamic Art Auction pada mula Ramadhan tahun ini.” « [hagi]
Seniman-Seniman Muslim yang Mengubah Dunia
1. Maulana Jalaluddin Rumi
Lahir – Wafat 1207 – 1273
Karya-karya al-Matsnawi, Diwâm-i-Shams-I Tabriz, dan Fîhi ma Fîhi.
Deskripsi Penyair besar sufi dengan banyak karya yang mengubah pandangan dunia.
Pengaruh Saat mengarang kumpulan puisi al-Matsnawi. Buku ini memberikan kritikan terhadap ilmu kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Juga pada langkah dan arah filsafat yang sudah melebihi batas, terlalu mengagungkan rasio dan mengabaikan perasaan.
2. Muhammad Al Farabi
Lahir – Wafat 870 M – 950 M
Karya-karya at-Ta’lîm ath-Thani, al-Mûsiqâ al-Kabîr, dan Qânun [alat musik semacam kecapi]. Deskripsi Cendekiawan muslim ahli filsafat, ilmu pengetahuan, kedokteran, sastra, dan musik. Ia menguasai 89 bahasa. Pengaruh Ia dikenal sebagai Guru Kedua [Mua’allim Tsâni]. Ia juga pandai memainkan dan mencipta beberapa alat musik.
3. Umar Khayyam [Ghiyath A-Din Abu’l-Fath Umar ibnu Brahim Al-Nisaburi A-Khayyami]
Lahir – Wafat 1048 – 1131
Karya-karya Sharh ma ashkala min musaddarât kitab Uqlidis [Penjelasan Kesulitan dari Postulat Euclid], Treatise on Demonstration of Problems of Algebra, Rubaiyat. Umar Khayyam [antologi puisi]. Deskripsi Pakar matematika dan astronomi yang ahli bikin puisi. Pengaruh Ia memopulerkan puisi atau sajak berjumlah empat baris [quatran]. Gaya berpuisi Khayyam diikuti penyair-penyair dunia.
4. Hafiz Shirazi
Wafat 783 H
Karya-karya Dîwân Hâfidz. Deskripsi Penulis lirik Persia terkenal dan dianggap sebagai salah satu pilar puisi Persia selain Umar Khayyam. Ia memperoleh julukan Lisân al-Ghaib [orator siluman] dan Tarhuman al-Asrâr [pembuka rahasia].
Pengaruh Syair-syair Hafiz hingga saat ini banyak dikutip sebagai pemandu dan sebagai pemberi jawab atas pertanyaanpertanyaan, dan pemberi arah untuk mewujudkan keinginan manusia.
5. Muhammad Iqbal
Lahir – Wafat 1873 – 1938
Karya-karya Shikwa dan Jawâb-i-Shikwa. Deskripsi Keturunan Brahma Kashmir yang menerima Islam masuk ke India. Ayahnya, Nur Muhammad, adalah Muslim yang taat dan pengusaha setelah mengundurkan diri dari jabatan di pemerintahan.
Pengaruh Pada Shikwa, Iqbal menulis tentang warisan muslim dan keruntuhannya. Sedangkan pada Jawâb-i-Shikwa, ia menyampaikan penyebab keruntuhan itu, serta mempertanyakan, mengapa harus pasrah menerimanya sebagai takdir, bukannya berusaha untuk bangkit.

6. Nama Syed Quthb
Lahir – Wafat 1906 – 1966
Karya-karya Tifi Qoria, Madinat Al Masyûr, Qafila Rafîq, Hilmi Fajr, dan Ma’alim fith Tharîq. Deskripsi Selain pemikir dan cendikiawan, ia juga sastrawan terkemuka di zamannya. Syed Quthb memulai karirnya sebagai penulis buku anak-anak.
Pengaruh Quthb menulis buku tentang kehidupan nabi dengan menggunakan bahasa yang indah sehingga menarik anak-anak. Karena kepopulerannya itu, ia menjadi pahlawan bagi semua anak muda Mesir. Bukunya Ma’alim fith Tharîq terkenal dengan kritikan terhadap budaya barat dan cara hidup mereka.
7. Nama Sunan Kalijaga
Lahir Diperkirakan tahun 1450
Karya-karya Pengarang lakon pewayangan Layang Kalimasada, suluk lir-ilir, lanskap kota yang terdiri dari kraton, alun-alun dan masjid. Penggagas baju takwa.
Deskripsi Sunan Kalijaga adalah seorang wali yang paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban – keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Pengaruh Menjadi salah satu tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Pendekatan dakwahnya sangat membumi dan unik. Ia menggunakan sarana budaya untuk mendekati masyarakat Jawa. Salah satunya dengan memasukkan salah satu laakon pewayangan yang terkenal yaitu Layang Kalimasada yang berarti kalimah syahadat.


boleh dari copas...

Rabu, 12 Mei 2010

Surat Pembaca: Kapitalisme Menghancurkan Perempuan


Di tengah kehidupan sistem kapitalisme ini, manusia hancur, termasuk kaum perempuan. Bagaimana tidak, perempuan dalam kungkungan kapitalisme selalu dieksploitasi dan direndahkan. Seorang ibu harus mencari uang demi keluarga dan anak dengan meninggalkan kewajibannya sebagai seorang ibu yang harus mendidik anak, menjaga dan merawat anaknya, hal ini kebanyakan dikarenakan suaminya sudah tidak bisa bekerja. Kondisi ini juga di perparah dengan munculnya gagasan gender equality (kesetaraan gender) yakni upaya menyetarakan perempuan dan laki-laki dari beban-beban yang menghambat kemandirian, seperti peran perempuan sebagai ibu: hamil, menyusui, mendidik anak, dan mengatur urusan rumah tangga.



Setidaknya ada dua faktor penyebab mengapa hal itu bisa terjadi : pertama, faktor internal umat islam yang lemah secara akidah sehingga tidak memiliki visi-misi hidup yang jelas. Hal ini diperparah dengan lemahnya pemahaman mereka terhadap aturan-aturan islam, termasuk tentang konsep pernikahan dan keluarga, fungsi dan aturan main di dalamnya. Kedua, faktor eksternal berupa konspirasi asing untuk menghancurkan umat islam dan keluarga muslim melalui serangan berbagai pemikiran dan budaya sekuler yang rusak dan merusak, terutam paham liberalisme yang menawarkan kebebasan individu.



Walaupun serangan-serangan kaum muslim dari segala sisi, keluarga muslim saat ini masih berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir, yang menjaga sisa-sisa hukum Islam terkait keluarga dan individu. Dari sinilah akan lahir para pejuang-pejuang muslim yang membela agama Allah. Karena hal itulah, barat sangat ketakutan sehingga mereka berupaya dengan sungguh-sungguh menghancurkan keluarga muslim dengan berbagai cara.

Oleh karena itu, kaum muslimah harus menyadari betapa besar investasi yang disiapkan jika mampu secara maksimal menjalankan fungsi utamanya sebagai ibu dan manajer rumah tangga (ummun wa rabbah al-bait). Fungsi utama ini akan menjadi hulu bagi lahirnya generasi utama yang akan mengguncang sekaligus meruntuhkan dominasi kafir barat dengan peradaban sampahnya. Seperti dalam firman Allah (QS.Al-Anam:135) (Oleh Yuli)

Sabtu, 08 Mei 2010

Gua nggak butuh sholat! Buat apa sih Sholat?

Mohon maaf bila judulnya bikin emosi. insyaAllah isinya gak separah judulnya, itu cuman bikin penasaran aja. Saya cuman pengen berbagi, saya dapet email dari temen di sebuah milis. email itu isinya cerita begini:

Anak : Pa, solat itu buat apa sih?

Ortu : (menghardik) Udah, lu jangan tanya-tanya macem-macem.. kapir lu nanti!

Anak : (terdiam)

Belasan tahun kemudian, si anak bertemu lagi dengan saya. Mana saya tahu kalau dia dulu tunya-tanya kayak gitu kan ? Biar gampang, kita sebut aja dia Boni.

Saya : Woy, jumatan atuh.. orang-orang udah pada ngabur!

Boni : Hoream ah…. keur naon solat? (males ah, buat apa sholat?)

Saya : (untung ajah, dulu kenyang di plonco adik PAS) Dasar.. Ari kamu sholat buat apa?

Boni : Saya mah, sholat kalo butuh dong. Nggak solat kalo aku nggak merasa butuh. Solat itu harus merupakan kebutuhan, bukan kewajiban dong. Tuhan nggak butuh solat kita, yang butuh itu kita! Sekarang gua lagi nggak butuh solat, jadi buat apa gua solat. PEUN.

Saya : Itu betul, memang kita harus punya sense ‘butuh’ terhadap sholat. Tapi, menurut gua, kita tetep ‘wajib’ sholat, meskipun kita sedang tidak ‘butuh’.

Boni : Buat apa? Menurut gua, disitulah letak nggak gunanya solat.
Lebih cuih lagi, kalo orang solat buat ngejar ‘gelar’, gua paling nggak suka!

Saya : Maksud loe?

Boni : Ya itu, jenis-jenis manusia yang solatnya buat pamer, kalo dia itu paling soleh!! Menurut gua sih, kalo die solat seribu rokaat juge, kalo abis solat die korup, die membunuh, die menjelekkan orang, menggunjing, tetep aje die tu, lebih buruk, dibanding orang nyang gak solat tapi berbuat baik sama orang lain!

Saya : Lu bener di satu sisi..Orang yang menzalimi orang lain, meski solat, tetep lebih buruk dibanding yang gak solat tapi berbuat baik

Boni : Tuu, bener kan gue!

Saya : Tapi di sisi lain, lu juga salah Bon! Menurut saya nih, solat tetep wajib!

Boni : Salah gimane? Ah paling lu mau ngeluarin ayat.

Saya : Ok, kita pake akal aja. Nah, sekarang saya mau nanya neh. Gaji lu berapa Bon?

Boni : Rahasia dong.. yah oke deh, sekitar 3-an lah

Saya : Lu kerja berapa jam sehari tuh, buat 3-an itu? 8 jam sehari ada nggak?

Boni : Ya iya lah.. lebih kali

Saya : Selain itu, saya yakin kalo lu dapet segitu, karena skill dan gelar lu kan ? Gak cuma karena kerjaan lu. Yang jelas, pengorbanan lu untuk dapet gaji segitu, lebih banyak dari sekedar kerja 8 jam sehari. Bener gak?

Boni : Bener banget! Tapi segitu juga udah untung. Gua suka dapet bonus, jadi gua yah, berterimakasih banget dah, sama Boss gua. Dia care banget sih sama kita.

Saya : Nah, Bon, ngomong-ngomong lu pernah denger ada jual beli ginjal gak buat transplantasi?

Boni : Oh iya dong, gile, satu ginjal ada satu milyar kali! Gua sih nggak bakal jual. Gila aja kali! Ntar gua pake apa dong?

Saya : Nah lu dikasih semilyar, kok gak mau berterimakasih sama sekali?

Boni : Bentar-bentar gua nggak ngerti neh.. dikasih semilyar gimana?

Saya : Tuh, mata loe… harganya berapa? Ok, ginjal satu milyar kan ? Oh ya, belon ntu tuh, kuping, mulut, muka… hm, loba euy (banyak euy), semua jatuhnya berapa ya? Trilyunan tuh.
Tapi semuanya dikasih gratis…

Boni : ……..

Saya : Bon, Sekali lagi neh, menurut aku, sholat tetep wajib, karna, itu salah satu cara kita untuk berterimakasih sama Yang ngasih badan kita, rejeki kita, keberuntungan kita, yah, segalanya yang udah Dia kasih dah.

Kita rela bekerja 8 jam sehari untuk mendapatkan 3 juta rupiah. Kita sangat berterimakasih sama orang yang ngasih kita tambahan bonus sekedar seratus-duaratus ribu, tapi kita kadang lupa berterimakasih sama ’seseorang’ yang ngasih kita mata, mulut, tangan, kaki, ginjal, yang harganya jauh lebih mahal kalo kita jual. Well, bahkan bisa dibilang tak ternilai harganya. CUma orang kepepet berat atau orang bodoh yang mau jual badan dia sendiri.

Memang idealnya, orang solat tuh terhindar dari perbuatan buruk. Toh solat kan aslinya mencegah perbuatan buruk, dan membuat kita terbiasa melakukan perbuatan baik. Tapi itu kalau dia menghayati makna sholat sebagai sarana mengingat Tuhan, bukan sekedar menggugurkan kewajiban (seperti saya hehehe).

Di situasi ideal ini, selepas sholat, orang jadi mengingat kembali, betapa banyak yang Tuhan berikan dan lakukan demi kebaikan kita. Coba aja telaah arti bacaan shalat dan arti gerakan solat. So pasti lu temukan deh, banyak bacaan solat maknanya kearah ini.

Karena dia ngeh bahwa Tuhan selalu melihat, dan telah banyak berbuat buat dia, dia bakal berfikir 1000 kali buat berbuat hal yang nggak Tuhan sukai.

yah kalo solatnya sekedar nyari gelar seperti yg lu bilang sih, memang gak bakal ada manfaatnya.

Tapi lu cerdas Bon, lu juga SQ-nya tinggi, makanya lu nggak mau solat sekedar menggugurkan kewajiban. Karena itu, lu pasti ngerti bahwa solat tetep wajib, meski kita lagi nggak butuh solat. Kita wajib solat, untuk berterimakasih sama yang telah ngasih kita segalanya.

Boni : Seandainya dulu bapa gua ngejawab kayak gitu, gua mungkin gak bakal terlalu anti solat ya…

Saya :? ???

Boni : Sudahlah, gak usah dibahas… Tapi thanks ya.. gua jadi ngerti neh.

================================================== =======

yah, alhamdulilah, berkat dialog yang kacrut ini (aslinya jauh lebih ngalor ngidul dan panjang), Boni sekarang rajin shalat, dan berusaha menghayati solatnya. Semoga aku jg ketularan Boni ya

teman-teman… jangan pernah berhenti mencari jawaban tentang sesuatu yang kita nggak ngerti tentang Tuhan atau agama. Banyak orang kecewa terhadap agama (apapun), kemudian jadi atheis, atau punya sekte sendiri, cuma karena pertanyaan dia tidak terjawab.

Bertanyalah pada ulama, bila belum puas, cari ulama lain, bila nggak puas juga, layangkan email ke ulama di luar negeri. Atau berdiskusilah dengan banyak teman-teman. Jangan puas dengan hanya satu jawaban. Jadilah pencari Tuhan yang sebenar-benarnya.

Bukan pencari Kebenaran Hakiki namanya, kalo cuma ngaku-ngaku aja. jangan ngaku pencari kebenaran, kalo tak pernah mencari.

buat para ortu, jangan sampai menghardik anak bila nggak ngerti ngejawab pertanyaan. Mendingan bilang terus terang aja, kalo bapa nggak bisa, ntar kita cari sama-sama. thats it

YOURE a father NOT a superhero.

yah, semoga bermanfaat dan bisa kita ambil hikmah dari cerita ini

penulis M. Febriansyah Z

Wanita dan Feminisme dalam Islam





Feminisme merupakan suatu gerakan emansipasi wanita yang dimunculkan oleh Marry Wallstonecraff, seorang wanita yang telah berhasil mendobrak dunia lewat bukuna The Right of Woman pada tahun 1972 yang dengan lantang menyuarakan tentang perbaikan kedudukan wanita dan menolak perbedaan derajat antara laki-laki dan wanita. Pada era globalisasi saat ini, banyak tokoh-tokoh wanita yang ingin memperjuangkan haknya. Mereka menganggap bahwa derajat mereka tidak bisa dibedakan dengan kaum Laki-laki. Banyak yang menganggap wanita lebih rendah derajatnya daripada lelaki. Sementara Wanita tidak menerima hal itu, sehingga timbullah gerakan – gerakan feminisme itu.

Lalu apakah Gerakan Feminisme itu memang ada dalam Islam?

Gerakan feminisme bisa sukses, karena ada beberapa faktor dan serangan yang menunjang, diantaranya adalah: pertama, imperialisme Barat ke negara Timur Tengah banyak memberikan pengaruh terhadap adanya feminisme. Kedua, pengaruh misionaris kristen. Peradaban Barat yang telah berhasil merombak peradaban mereka, secara politis maupun materi, mengakibatkan mereka tak mampu menangkal serangan para misionaris. Ketiga, bertambahnya pelajar muslim yang belajar ke universitas-universitas di Barat. Sehingga setelah mereka kembali ke Negara asalnya, merekalah yang menjadi pelopor modernisasi dan melupakan tradisi-tradisi. Keempat, dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 yang banyak mengilhami kemajuan daerah-daerah di sekitarnya. Sehingga banyak kebudayaan Barat yang masuk dengan bebasnya.

Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa Feminisme bukanlah dari Islam dan memang Islam tidak pernah mengabarkan bahwa adanya gerakan feminisme. Sesungguhnya derajat wanita dan laki-laki memang mempunyai hak yang sama, karena berasal dari asal yang sama. Justru Islam mengangkat harkat dan mertabat wanita ke derajat yang mulia, tidak seperti anggapan yang beredar bahwa wanita hanya sebatas objek seksual dan alat reproduksi semata. Islam sangat menghargai dan menghormati peran wanita. Wanita mempunyai peran yang sangat berarti dan terhormat.

Dalam Islam, wanita diberi peran untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang mampu membangun peradaban dunia menjadi lebih maju, mengawasi setiap perkembangan anak-anaknya, mengurusi urusan rumah tangga, dan sebagainya. Semua itu merupakan tugas mulia, dan semua itu lebih mulia derajatnya dibandingkan dengan pekerjaan lainnya.

Di dalam Islam memang terdapat peraturan-peraturan yang mengatur seputar kehidupan wanita. Semua itu seharusnya menjadi bukti bahwa Islam sangat menjaga dan menghormati peran Wanita, bukan malah berpikir Islam mengekang kebebasan wanita.

Allah swt menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan. Ada langit pasti ada Bumi, siang malam, bulan bintang, terang gelap. Begitupun dengan penciptaan manusia, ada laki-laki dan ada perempuan, sebagaimana Allah menciptakan Adam dan Hawa. Pada dasarnya derajat manusia (laki-laki dan wanita) sama, namun bukan berarti dalam semua hal wanita dan pria bisa melakukan aktivitas yang sama pula. Walaubagaimana pun, sudah menjadi kodrat bahwa Wanita lebih lemah dibandingkan laki-laki. Sehingga Islam telah mengatur dengan sangat bijaksana masalah pembagian pekerjaan untuk wanita dan laki-laki. Laki-laki banyak mendapat peran di luar lingkungan rumah, seperti mencari nafkah. Dan itu memang sudah menjadi kewajiban seorang laki-laki sebagai imam (kepala keluarga). Sementar wanita lebih banyak melakukan aktivitas rumah. Jika seandainya ingin beraktivitas di luar rumahpun haruslah sepengetahuan (seizin) dari suaminya. Hal ini sudah diatur, agar terjadi kesinergian peranan, sehingga bisa saling melengkapi.

Namun perlu ditekankan kembali, aturan yang telah ada itu bukan malah membatasi gerak seorang wanita, justru malah melindungi dan menghormati peran wanita. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan wanita untuk turut serta membangun negeri. Bayangkan saja jika seorang wanita harus menggantikan atau disejajarkan dengan peran laki-laki. Maka seorang wanita harus bergelut dengan dunia luar yang bisa mengancam dirinya, baik keselamatan maupun derajatnya.

Sudah sepantasnya peran wanita dan laki-laki ada perbedaan. Tapi dengan niat yang sama semua celah, dimanapun dan kapanpun baik wanita maupun laki-laki mempunyai kewajiban yang sama untuk membuat negeri kembali bangkit dari keterpurukan.

Disinilah kita bisa menggaris bawahi bahwasanya feminisme jelas bukan dari Islam namun Islam tidak pernah melarang kaum wanita untuk berperan aktif di lingkungannya selama tidak meninggalkan kewajibannya dan mendapat izin dari suami. Bahkah eksistensi wanita akhir-akhir ini banyak dibutuhkan oleh masyarakat dunia bersamaan dengan meningkatnya nilai keagamaan serta majunya zaman. Banyak masalah-masalah kewanitaan menuntut keahlian kaum wanita untuk mengatasi masalah tersebut seperti dokter wanita, guru, fisikawan, ahli kimia, dan sebagainya. (Oleh: Nurrizka Kartika Wati. Staf Departemen Keputrian BKIM IPB 2010-2011)


Terakhir Diupdate ( Minggu, 09 Mei 2010 07:00 )
http://www.dakwahkampus.com/

Senin, 21 September 2009

Perkenalan !

assalamualaikum .
semuanya, kenalin,,
aquu,
Eka Risna Rahmawati .
profil lengkap, bisa dilihat di profil quu..

aquu hanya ingin memperjelas saja,

sekarang aquu adalh seorang mahasiswi di IPB yang merupakan angkatan 46,
jadi aquu masih tingkat awal, TPB.
insya Allah, tahun kedua nanti, aquu akan menempati mayor statistika...
mayor itu, terasa sangat istimewa bagi quu, aquu yang sebenarnya kurang berilmu ini...

pengen nulis banyak tentang aquu, tapi masih ada urusan, lainkali quu edit lagi deh yaaa...
hhehehe .